Senin, 16 Juli 2012

PERSPEKTIF HUKUM CALON INDEPENDENT DALAM PILKADA ACEH



1.            PENDAHULUAN

Pasca penanda tanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pihak pemerintah Republik Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2006 di Helsinsky situasi keamanan di Propinsi Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan.Kejadian – kejadian kriminal yang sebagian besar menggunakan senjata api selalu menghiasi Headline surat kabar lokal maupun nasional.Kejadian terakhir yang menggunakan senjata api yaitu terjadinya penembakan terhadap para pekerja penggali kabel Telkom etnis Jawa yang sedang berada di Kabupaten Bireun,meskipun memang sebelumnya banyak juga kejadian penembakan yang korbannya rata – rata etnis Jawa.Dengan adanya kejadian – kejadian tersebut banyak pihak yang berpendapat bahwa  banyaknya penembakan di Aceh berkaitan dengan suhu politik yang berkembang menjelang Pilkada yang akan dilaksanakan pada bulan April 2012 mendatang.
Akibat memanasnya situasi yang berkembang di Aceh salah satu TV swasta nasional dalam program acaranya pernah membuat judul  Siapa yang bermain di tanah Rencong”.Dalam acara yang disiarkan secara Live tersebut selain memang khusus dihadiri oleh para pakar bidang hukum dan pihak terkait juga dihadiri oleh mantan – mantan Kombatan GAM serta sejumlah nara sumber penting lainnya.


2.         LATAR BELAKANG

UUD 1945 Pasal 18 B ayat (1) menyatakan :”Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang – undang”.Aceh merupakan Propinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Otonomi khusus yang diberikan kepada  Aceh diamanatkan dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 yang diikuti dengan pembentukan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Undang – Undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Undang – Undang  Nomor 18 Tahun 2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang – Undang Nomor  11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA).UUPA tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus  ini merupakan subsistem dari sistem pemerintahan   nasional.


Jika kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak berlakunya adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa : “Kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.”


3.         PERMASALAHAN

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan hukum calon independent dalam Pemilihan Kepala Daerah di Aceh menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.


4.         PEMBAHASAN

Seperti halnya daerah – daerah lain di Indonesia, Aceh dibagi atas beberapa Kabupaten dan Kota yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota.Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah di Aceh diatur dengan Undang – Undang  Nomor  11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).Namun pada saat ini muncul permasalahan menyangkut calon perseorangan (independent), yaitu ada suatu kelompok masyarakat yang menyatakan bahwa calon independent berhak mencalonkan diri  pada Pemilu 2012 karena dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi  (MK) No 35/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 256 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan di lain pihak mengatakan calon independent tidak berhak maju karena bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan MoU Helsinsky.

Kita ketahui bersama bahwasanya UUPA diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006, sedangkan untuk Pemilihan Kepala Daerah pertama kali yang dilaksanakan dibawah UUPA adalah tahun 2007 dan Pemilihan Kepala Daerah yang kedua adalah tahun 2011 akan tetapi karena ada pergeseran waktu Pemilihan Kepala Daerah tersebut baru akan dilaksanakan pada tahun 2012.

Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 256 disebutkan : “ Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang – Undang ini diundangkan.”
Kalau kita merujuk kepada ketentuan pasal tersebut diatas, maka jelas bahwasanya calon independent tidak berhak untuk ikut dalan Pemilihan Kepala Daerah  yang akan datang.Akan tetapi persoalan lain muncul bahwa ketentuan pasal 256 tersebut telah diajukan uji materil oleh Tami Anshar Mohd Nur cs. kepada Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010.

Di dalam permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi Tami Anshar Mohd Nur cs. menyatakan bahwa dengan diterapkannya UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena :

1.    Bahwa ketentuan Pasal 256 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah menutup kesempatan bagi calon independent dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Aceh serta jelas – jelas telah menghambat dan merugikan hak konstitusinal bagi warga negara yang tidak memiliki kendaraan politik atau yang tidak diusulkan Parpol baik nasional maupun lokal termasuk Para Pemohon sebagai perorangan warga negara sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 5 PUU – V/2007 point [3,15,8], [3,15,9], [3,15,10], [3,15,11] dan [3,15,12] halaman 55 – 56;

2.    Bahwa dengan berlakunya Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dikawatirkan akan dikhawatirkan oleh politikus – politikus untuk kekuatan status quo dan ketentuan tersebut menjadi alat baru yang justru akan menampilkan sifat – sifat oportunis, konspiratif, dan transaksi politik yang berlebihan karena ketentuan tersebut tidak memberikan peluang dan ruang gerak bagi calon – calon independent yang bukan dari partai politik.Pemilukada tersebut sudah pasti menguntungkan segelintir orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan atau yang mampu dari segi finansial yang seolah – olah memperoleh legitimasi dari rakyat padahal yang sesungguhnya tidak demikian;

3.    Bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materil UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60, yang diajukan oleh Lalu Ranggalawe  dari propinsi NTB (putusan No. 5/PUU-V/2007) tanggal 23 Juli 2007 selanjutnya telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 maka  dengan demikian secara nasional (termasuk Aceh) pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota dengan calon independen sudah dibenarkan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi di Aceh hal tersebut terganjal dengan ketentuan Pasal 256 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

4.   Bahwa demokrasi adalah sejatinya identik dengan salah satu bentuk aspirasi yang melibatkan seluruh rakyat artinya setiap keputusan yang diamanatkan oleh demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya demokrasi adalah paham kerakyatan yang tanpa diskriminasi atau intervensi yang bermuatan kekuasaan jabatan maupun golongan.Demokrasi hendaknya jangan dijadikan simbol yang hanya mengeksploitasi kepentingan rakyat karena dalam praktiknya rakyat hanya dimobilisasi atau diarahkan kepada kepentingan sesaat, misalnya untuk kepentingan penguasa baru dalam pertarungan kekuasaan. Dalam pergelaran demokrasi dibutuhkan keikut sertaan rakyat secara langsung, sehingga sudah saatnya rakyat mengusung pemimpinnya secara langsung bukan hanya terbatas melalui parpol baik nasional maupun lokal;




Sedangkan dalam Perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010 tersebut Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya menyebutkan antara lain :

1.       Mengabulkan permohonan  para Pemohon untuk seluruhnya;

2.  Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3.  Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia Sebagaimana mestinya;


Amar putusan Mahkamah Konstitusi point 2 menyatakan bahwa Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi:

-       Pasal 18
      Ayat (4):   “Gubernur, Bupati dan Walikota Masing-masing sebagai Kepala Daerah Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”;

-       Pasal 27
      Ayat (1):      “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

-       Pasal 28D
      Ayat (1):    ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;

     Ayat (3):     “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;

-       Pasal 28I
      Ayat (2):      ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ketentuan pasal 256 UUPA tidak dapat dijadikan dasar hukum lagi untuk melarang calon independent mencalonkan diri dalam Pemilukada yang akan datang karena sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 Ketentuan pasal 256 UUPA tersebut juga tidak sejalan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) UUPA itu sendiri yang menyatakan :
(1)  Setiap penduduk berhak:

a.    Atas kedudukan yang sama di depan hukum;

b. Atas kebebasan berbicara, kebebasan pers dan publikasi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, berdemonstrasi secara damai, dan hak untuk mendirikan dan bergabung dalam serikat pekerja dan hak mogok;

c.   Atas kebebasan untuk melakukan penelitian akademik, kreasi seni, sastra, dan aktivitas budaya lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam;

d. Memilih dan dipilih sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan; dan

e.  Mendapatkan pelayanan dan bantuan hukum, fasilitasi melalui pengadilan, memilih pengacara/penasihat hukum untuk pelindungan pada saat dibutuhkan atas hak-hak hukum dan kepentingan mereka di depan pengadilan.

Sedangkan apabila dikaitkan dengan Hak Azasi Manusia pasal 256 UUPA bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yaitu pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berbunyi :
Ayat (1) :         “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan peraturan perundang undangan.”
Ayat (2) :            “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung , atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”
Ayat (3) :         “Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.”
Sebagai bagian dari masyarakat yang tentunya harus selalu patuh terhadap segala perundangan yang berlaku sudah sepatutnya kita melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sehingga terwujud masyarakat yang madani, adil dan makmur.Sehingga ekses negatif dari pelanggaran hukum dapat dihindarkan seminimal mungkin.


5.         KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum calon independent maupun non independent tidak akan bermasalah selama tidak bertentangan perundang – undangan yang berlaku dan Hak Azasi Manusia.Justru kepala daerah di Aceh yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintah yang diberi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain pada dasarnya bukan hanya sekedar hak akan tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat.



6.         PENUTUP
Demikian pembahasan dari penulisan ini kami buat sesuai azas netralitas yaitu tanpa  memihak kepada pihak/kelompok manapun dan tujuan apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar