1.
PENDAHULUAN
Pasca penanda tanganan Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pihak pemerintah Republik
Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2006 di Helsinsky situasi keamanan
di Propinsi Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan.Kejadian –
kejadian kriminal yang sebagian besar menggunakan senjata api selalu menghiasi
Headline surat kabar lokal maupun nasional.Kejadian terakhir yang menggunakan
senjata api yaitu terjadinya penembakan terhadap para pekerja penggali kabel
Telkom etnis Jawa yang sedang berada di Kabupaten Bireun,meskipun memang
sebelumnya banyak juga kejadian penembakan yang korbannya rata – rata etnis
Jawa.Dengan adanya kejadian – kejadian tersebut banyak pihak yang berpendapat
bahwa banyaknya penembakan di Aceh
berkaitan dengan suhu politik yang berkembang menjelang Pilkada yang akan
dilaksanakan pada bulan April 2012 mendatang.
Akibat memanasnya situasi yang
berkembang di Aceh salah satu TV swasta nasional dalam program acaranya pernah
membuat judul “Siapa yang bermain di tanah Rencong”.Dalam acara yang disiarkan
secara Live tersebut selain memang khusus dihadiri oleh para pakar bidang hukum
dan pihak terkait juga dihadiri oleh mantan – mantan Kombatan GAM serta
sejumlah nara sumber penting lainnya.
2. LATAR BELAKANG
UUD 1945 Pasal 18 B ayat (1)
menyatakan :”Negara Kesatuan Republik
Indonesia mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang – undang”.Aceh
merupakan Propinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang – undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Otonomi khusus yang diberikan
kepada Aceh diamanatkan dalam TAP MPR
Nomor IV/MPR/1999 yang diikuti dengan pembentukan Undang – Undang Nomor 18
Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Undang
– Undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada
Pemerintah Aceh yang berbeda dari kewenangan Pemerintah daerah lainnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.Undang – Undang Nomor 18 Tahun
2001 tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA).UUPA
tersebut mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian tak
terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi khusus ini merupakan subsistem dari sistem
pemerintahan nasional.
Jika kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) salah satu perubahan besar
dalam hubungan pusat dan daerah sejak berlakunya adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian
kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat
(1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa : “Kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain.”
3. PERMASALAHAN
Adapun
yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan hukum
calon independent dalam Pemilihan Kepala Daerah di Aceh menurut Undang – Undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
4. PEMBAHASAN
Seperti halnya daerah – daerah lain di
Indonesia, Aceh dibagi atas beberapa Kabupaten dan Kota yang dipimpin oleh
seorang Bupati atau Walikota.Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah di Aceh
diatur dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA).Namun pada saat ini muncul permasalahan menyangkut calon perseorangan (independent),
yaitu ada suatu kelompok masyarakat yang menyatakan bahwa calon independent
berhak mencalonkan diri pada Pemilu 2012
karena dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 256
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan di lain pihak mengatakan calon independent tidak berhak maju
karena bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan MoU
Helsinsky.
Kita ketahui bersama bahwasanya UUPA
diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006, sedangkan untuk Pemilihan Kepala
Daerah pertama kali yang dilaksanakan dibawah UUPA adalah tahun 2007 dan
Pemilihan Kepala Daerah yang kedua adalah tahun 2011 akan tetapi karena ada
pergeseran waktu Pemilihan Kepala Daerah tersebut baru akan dilaksanakan pada
tahun 2012.
Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 256 disebutkan : “ Ketentuan yang mengatur calon perseorangan
dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil
Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan
hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang – Undang ini
diundangkan.”
Kalau kita merujuk kepada ketentuan
pasal tersebut diatas, maka jelas bahwasanya calon independent tidak berhak
untuk ikut dalan Pemilihan Kepala Daerah
yang akan datang.Akan tetapi persoalan lain muncul bahwa ketentuan pasal
256 tersebut telah diajukan uji materil oleh Tami Anshar Mohd Nur cs. kepada
Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010.
Di dalam permohonan uji materil kepada
Mahkamah Konstitusi Tami Anshar Mohd Nur cs. menyatakan bahwa dengan
diterapkannya UU a quo bertentangan
dengan UUD 1945, karena :
1. Bahwa ketentuan Pasal 256 UU No 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah menutup kesempatan bagi calon
independent dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Aceh serta jelas – jelas
telah menghambat dan merugikan hak konstitusinal bagi warga negara yang tidak
memiliki kendaraan politik atau yang tidak diusulkan Parpol baik nasional
maupun lokal termasuk Para Pemohon sebagai perorangan warga negara sebagaimana
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 5 PUU – V/2007 point
[3,15,8], [3,15,9], [3,15,10], [3,15,11] dan [3,15,12] halaman 55 – 56;
2. Bahwa dengan berlakunya Pasal 256 UU
No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dikawatirkan akan dikhawatirkan
oleh politikus – politikus untuk kekuatan status quo dan ketentuan tersebut
menjadi alat baru yang justru akan menampilkan sifat – sifat oportunis,
konspiratif, dan transaksi politik yang berlebihan karena ketentuan tersebut
tidak memberikan peluang dan ruang gerak bagi calon – calon independent yang
bukan dari partai politik.Pemilukada tersebut sudah pasti menguntungkan
segelintir orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan atau yang mampu dari
segi finansial yang seolah – olah memperoleh legitimasi dari rakyat padahal
yang sesungguhnya tidak demikian;
3. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan
uji materil UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal
56, Pasal 59, dan Pasal 60, yang diajukan oleh Lalu Ranggalawe dari propinsi NTB (putusan No. 5/PUU-V/2007)
tanggal 23 Juli 2007 selanjutnya telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008
tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 maka dengan demikian secara nasional (termasuk
Aceh) pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta
Walikota/Wakil Walikota dengan calon independen sudah dibenarkan menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi di Aceh hal tersebut
terganjal dengan ketentuan Pasal 256 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh;
4. Bahwa demokrasi adalah sejatinya
identik dengan salah satu bentuk aspirasi yang melibatkan seluruh rakyat
artinya setiap keputusan yang diamanatkan oleh demokrasi dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Artinya demokrasi adalah paham kerakyatan yang tanpa
diskriminasi atau intervensi yang bermuatan kekuasaan jabatan maupun
golongan.Demokrasi hendaknya jangan dijadikan simbol yang hanya mengeksploitasi
kepentingan rakyat karena dalam praktiknya rakyat hanya dimobilisasi atau
diarahkan kepada kepentingan sesaat, misalnya untuk kepentingan penguasa baru
dalam pertarungan kekuasaan. Dalam pergelaran demokrasi dibutuhkan keikut
sertaan rakyat secara langsung, sehingga sudah saatnya rakyat mengusung
pemimpinnya secara langsung bukan hanya terbatas melalui parpol baik nasional
maupun lokal;
Sedangkan dalam Perkara Nomor
35/PUU-VIII/2010 tersebut Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya
menyebutkan antara lain :
1. Mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
2. Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia Sebagaimana mestinya;
Amar
putusan Mahkamah Konstitusi point 2 menyatakan bahwa Pasal 256 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4633) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yaitu antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi:
-
Pasal 18
Ayat (4): “Gubernur,
Bupati dan Walikota Masing-masing sebagai Kepala Daerah Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”;
- Pasal
27
Ayat (1): “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
- Pasal
28D
Ayat (1): ”Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
Ayat (3): “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;
- Pasal
28I
Ayat (2): ”Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”;
Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ketentuan pasal
256 UUPA tidak dapat dijadikan dasar hukum lagi untuk melarang calon independent
mencalonkan diri dalam Pemilukada yang akan datang karena sudah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan pasal 256 UUPA tersebut juga tidak
sejalan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) UUPA itu sendiri yang menyatakan :
(1) Setiap
penduduk berhak:
a.
Atas kedudukan yang sama di depan
hukum;
b. Atas kebebasan berbicara, kebebasan
pers dan publikasi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, bergerak dari
satu tempat ke tempat lain, berdemonstrasi secara damai, dan hak untuk
mendirikan dan bergabung dalam serikat pekerja dan hak mogok;
c. Atas kebebasan untuk melakukan
penelitian akademik, kreasi seni, sastra, dan aktivitas budaya lain yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam;
d. Memilih dan dipilih sepanjang memenuhi
syarat yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan; dan
e. Mendapatkan pelayanan dan bantuan
hukum, fasilitasi melalui pengadilan, memilih pengacara/penasihat hukum untuk
pelindungan pada saat dibutuhkan atas hak-hak hukum dan kepentingan mereka di
depan pengadilan.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan Hak
Azasi Manusia pasal 256 UUPA bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM yaitu pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berbunyi
:
Ayat
(1) : “Setiap warga negara berhak
untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak
melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
sesuai dengan peraturan perundang undangan.”
Ayat
(2) : “Setiap warga negara berhak
turut serta dalam pemerintahan dengan langsung , atau dengan perantara wakil
yang dipilihnya dengan bebas menurut cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.”
Ayat
(3) : “Setiap warga negara dapat
diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.”
Sebagai bagian dari masyarakat yang
tentunya harus selalu patuh terhadap segala perundangan yang berlaku sudah
sepatutnya kita melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sehingga terwujud masyarakat yang madani, adil dan makmur.Sehingga ekses
negatif dari pelanggaran hukum dapat dihindarkan seminimal mungkin.
5. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa kedudukan hukum calon independent maupun non independent tidak
akan bermasalah selama tidak bertentangan perundang – undangan yang berlaku dan
Hak Azasi Manusia.Justru kepala daerah di Aceh yang diberikan otonomi khusus
oleh pemerintah yang diberi kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain pada dasarnya bukan hanya sekedar
hak akan tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk
dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
6. PENUTUP
Demikian pembahasan dari penulisan ini
kami buat sesuai azas netralitas yaitu tanpa
memihak kepada pihak/kelompok manapun dan tujuan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar