Masih
hangat di benak kita bahwa di suatu daerah di Tanah Air yang terkenal dengan
sebutan kota “Petro Dolar“ pemerintah kotanya telah mengeluarkan suatu aturan
yang isinya melarang kaum perempuan untuk melakukan posisi duduk mengangkang
ketika sedang mengendarai kendaraan bermotor roda dua/sepeda motor.Hal ini
sampai sekarang masih menjadi polemik dan menjadi perbincangan hangat di
tengah-tengah masyarakat bahkan menjadi isu Nasional karena Perda ini katanya bersifat
kontroversi dan terkesan hanya menyudutkan kaum hawa. Surat Edaran tentang
larangan tersebut memang telah digulirkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe
sejak Tanggal 2 Januari 2013 silam.
Memang, apabila ditinjau dari sudut pandang Yuridis
aturan ini tidak berseberangan dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA).
Akan tetapi jika yang dijadikan tujuan aturan tersebut untuk menegakkan Syariat
secara Kaffah maka pemberlakuan aturan ini masih setengah-setengah. Jika memang
ingin menegakkan secara menyeluruh maka kaum perempuan tidak akan bisa
melakukan banyak hal di depan umum seperti berbicara, berpidato, menyanyi,dll
karena suara perempuan merupakan aurat bagi mereka. Meskipun suara mereka tidak
sengaja dibuat mendayu-dayu yang bisa memancing syahwat, akan tetapi apabila
seorang perempuan berbicara maka suara lembut mereka setidaknya akan dapat
membuat laki-laki sedikit mengalihkan perhatiannya kepada sang perempuan.
Mencermati Perda ini, maka harus kita sikapi dengan bijak
dan kepala dingin.Segala sesuatu yang diambil pasti akan menimbulkan dampak,
sehingga apabila kita tidak melihat dari kacamata yang tepat pasti akan
menimbulkan konflik berkepanjangan. Di satu sisi Pemerintah Lhokseumawe membuat
Perda tersebut tentunya mempunyai alasan-alasan khusus yang pastinya untuk
melindungi dan menyelamatkan kaum perempuan dari fitnah dan perlakuan tidak
terpuji dari orang lain.Bisa saja hal ini didasari oleh kekhawatiran dan
keprihatinan dari para orang tua terhadap anak-anak gadis mereka agar
tidak menimbulkan aib bagi keluarga. Namun
di sisi lain niat baik tersebut apabila tidak tepat waktu dan tidak tepat
sasaran tentunya justru akan berdampak negatif terhadap masyarakat itu sendiri.
Pemberlakuan suatu aturan tanpa melihat situasi dan kondisi yang berlaku saat
itu justru akan menjadi bumerang bagi kita.
Boleh
saja memberlakukan suatu aturan akan tetapi sebaiknya disertai dengan aturan lain
yang dapat mendukung serta memberikan solusi apabila aturan utama
diterapkan.Seperti halnya apabila aturan pelarangan duduk mengangkang saat
berkendaraan diterapkan, maka setidak-tidaknya Pemko Lhokseumawe harus
memberikan jalan keluar/solusi bagi para wanita agar tidak menyalahi Perda
tersebut. Jadi jangan sampai Perda tersebut memberikan kesan hanya berpihak
terhadap kalangan menengah keatas dan mengesampingkan kalangan bawah yang
setiap harinya harus berkutat dengan sepeda motor.
Memang pemberlakuan Perda ini nantinya tidak akan
menimbulkan dampak berarti bagi keluarga Pejabat Eksekutif maupun Legislatif
yang mencanangkan Perda tersebut karena mereka mampunyai mobil pribadi,sehingga
istri ataupun anak-anak maupun keluarga mereka tidak perlu khawatir apabila
bepergian. Tetapi bagaimana halnya dengan masyarakat kecil yang harus
menggunakan sepeda motor?Apakah Pemerintah tidak memikirkan hal tersebut?Jangan sampai
Pemerintah seperti “ Kacang lupa kulitnya”,pada saat Pilkada mengemis kepada
rakyat agar dipilih menjadi pejabat akan tetapi setelah menjadi pejabat
melupakan rakyatnya. Sebagai contoh seorang ibu rumah tangga yang harus
menggunakan sepeda motor untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah ataupun
harus berbelanja ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.Meskipun
posisi mereka membonceng dibelakang pun apakah mereka harus mengesampingkan
faktor keamanan dengan duduk tidak mengangkang selama berkendaraan karena hanya
untuk mentaati Perda?Mungkin ini dapat menjadi pertimbangan khusus oleh
Pemerintah karena pada dasarnya menegakkan Syariat itu penting, tapi menegakkan
Syariat yang mengutamakan keselamatan itu jauh lebih penting.
Menurut
hemat saya, yang menjadi dasar persoalan bukanlah masalah posisi mengangkangnya
akan tetapi justru pakaian yang digunakan oleh para wanita tersebut. Jadi Perda
ini telah membias dari akar permasalahan yang sebenarnya yaitu pelarangan berpakaian
ketat tetapi malah menjadi pelarangan duduk mengangkang bagi perempuan saat
menaiki kendaraan.Jika kita tinjau kembali ke masa Rasulullah saw. menurut
suatu riwayat para Ummu ‘Umarah menunggangi unta/kuda mereka dengan mengangkang
dan tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Akan tetapi perlu kita catat saat
itu para Ummu ‘Umarah menggunakan pakaian yang tertutup,bukan menggunakan
celana Jins ekstra ketat yang lazim digunakan oleh para remaja putri pada saat
ini. Apabila seorang perempuan menutup aurat dengan sempurna saya yakin tidak
akan menjadi persoalan. Lain halnya apabila perempuan memakai pakaian ketat dan
sedikit “agak irit“, jangankan duduk mengangkang, dia berjalanpun hidung kita
sudah kembang kempis,hati kita dibuatnya kebat-kebit man..
Bagi
semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah sebaiknya melakukan musyawarah
terlebih dahulu sebelum melangkah yang lebih jauh. Tidak ada permasalahan yang
tidak dapat dipecahkan selama masing-masing pihak beritikad baik dan
berkomitmen untuk menyeleseikan permasalahan tersebut. Sebagai masyarakat yang
baik sudah sepantasnya kita mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah
selama aturan tersebut bersifat baik serta membangun. Dan sebagai Pemerintah
harus bisa menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya
sekaligus mampu menampung segala aspirasi dan permasalahan masyarakatnya agar
terjadi hubungan yang harmonis dalam melaksanakan pembangunan untuk kemakmuran
bersama.
Pemberlakuan
suatu aturan pasti akan membawa untung rugi. Yang dirugikan tentunya masyarakat
lapisan bawah yang menggunakan sepeda motor, karena mereka akan sangat
terbatasi mobilitasnya karena Perda ini. Akibatnya masyarakat lapisan bawah
akan melirik ke jenis angkutan darat lain yang mudah terjangkau yaitu becak
bermotor (Betor) karena apabila naik angkutan ini kaum perempuan tidak perlu
duduk mengangkang. Akan tetapi jka menggunakan becak bermotor mobilitas masyarakat akan terbatasi karena ongkos yang
mahal yaitu ± Rp 10.000,00 – Rp 20.000,00/sekali jalan.Kenyataannya, apabila
kita ingin berbelanja atau beraktifitas di Kota Lhokseumawe maka setidaknya
kita harus naik Betor lebih dari sekali. Ongkos Betor yang mahal ini tidak akan
menjadi masalah jika masyarakat taraf hidupnya sudah tinggi, akan tetapi akan
menimbulkan masalah baru bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Seiring pemberlakuan aturan ini maka angka kejahatan di Kota Lhokseumawe tinggi
karena kebutuhan hidup meningkat serta kemungkinan angka kecelakaan semakin
besar.
Sedangkan
yang diuntungkan adalah para tukang becak bermotor (Betor), Jasa kredit, dan
produsen kendaraan bermotor. Karena masyarakat beralih ke Betor maka akan
terjadi lonjakan jumlah Betor secara besar-besaran, apabila ini terjadi maka
lalu lintas di Kota Lhokseumawe akan semakin semrawut. Dan bagi lembaga kredit
dan produsen kendaraan bermotor ini adalah suatu kesempatan yang bagus karena
masyarakat yang mempunyai uang lebih akan menginvestasikan hartanya untuk
membeli kendaraan roda dua yang cocok untuk wanita maupun mobil yang tentunya
mau tidak mau harus dibeli agar tidak terkena sanksi aturan ini.
Sebenarnya
di Propinsi Aceh sendiri terdapat isu yang tak kalah spektakuler jika
dibandingkan dengan Perda larangan duduk mengangkang.Isu ini berskalanya besar
dan dampaknya dapat mengancam keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia serta MoU Helsinki.Pada saat ini Pemerintah Aceh sedang mengusulkan
pembuatan Hymne dan Bendera Bangsa Aceh kepada Pemerintah pusat. Akan tetapi
sampai dengan saat ini masih dalam proses, bahkan Mendagri (Gamawan Fauzi)
meminta DPRD mengevaluasi lambang dan bendera tersebut karena mirip dengan
atribut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk pengusulan lambang dan bendera
pemprov harus merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2007 yang
menyatakan dengan tegas bahwa lambang daerah tidak boleh sama dengan lambang
kelompok separatis dan semacamnya. Jika pengusulan pembuatan Hymne dan Bendera
Bangsa Aceh tidak diluluskan oleh Jakarta apakah mereka akan kembali menabuh
genderang perang melawan pemerintah yang syah?
Sekarang
apakah anda bisa membayangkan apa jadinya jika Hymne dan Bendera Bangsa Aceh
diluluskan oleh Pemerintah?Pasti di sekolah-sekolah di Aceh tidak ada lagi
siswa yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan masyarakat tidak akan ada yang
mengibarkan bendera Merah Putih.Faktanya, sampai dengan saat ini saja
masyarakat di Aceh masih enggan untuk mengibarkan Bendera Merah Putih apabila
tidak disuruh oleh aparat Koramil setempat.Pertanyaannya, akankah mereka masih
mau mengibarkan Bendera Merah Putih jika mereka sudah mempunyai bendera
sendiri?
Sedikit
mengingatkan untuk para pemimpin yang budiman, bahwa tugas sesungguhnya dari
seorang pemimpin adalah melayani yang kita pimpin serta mencari solusi dari
permasalahan tanpa menimbulkan masalah baru. Semoga hal ini dapat dijadikan
pegangan untuk kita semua, karena sejatinya setiap kita adalah seorang pemimpin
dan suatu saat nanti akan diminta pertanggung jawabannya.