Selasa, 18 Maret 2014

FENOMENA CALEG MILENIUM


 Bagi Warga Negara Indonesia, hari Rabu tanggal 9 April 2014 mendatang dimaknai dengan arti yang beragam. Mungkin ada masyarakat yang memaknainya dengan perasaan yang menegangkan, ada yang biasa saja, bahkan ada yang acuh tak acuh. Hal ini tergantung dari masing-masing individu yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tanggal tersebut. Bagi anda yang mungkin terdaftar menjadi salah satu Caleg dari parpol tertentu maka tanggal tersebut merupakan hari yang menentukan dan menegangkan karena menentukan nasib anda, apakah anda dapat menjadi anggota legislatif seperti yang anda dambakan selama ini ataukah anda harus menelan pil pahit karena jumlah suara yang tidak memenuhi kuota tertentu.
          Untuk masyarakat pada umumnya, tanggal tersebut disikapi dengan perasaan yang biasa saja karena tanggal tersebut merupakan salah satu tahapan yang memang harus dilaksanakan dalam rangkaian jadwal pelaksanaan Pemilu tahun 2014 yang telah ditetapkan oleh KPU. Dan tentunya sebagai bagian dari masyarakat yang berdemokrasi, maka masyarakat harus menggunakan hak pillihnya untuk memilih anggota legislatif tersebut pada tanggal 9 April 2014.
            Lain halnya dengan masyarakat kita yang harus menggelandang di jalan atau yang terpaksa harus tinggal di kolong jembatan yang setiap harinya harus membanting tulang dan berkutat dengan pekerjaan yang harus mereka jalani untuk sekedar menghidupi keluarga mereka, maka mereka memaknainya dengan sikap acuh tak acuh. Hal ini selaras dengan masyarakat yang telah mengambil jalur golput dalam Pemilu karena sudah terlanjur kecewa dengan kinerja anggota legislatif serta pemerintah yang telah ingkar janji dan hanya memperkaya diri sendiri.
           Memang beberapa motivasi Caleg pasti ada keinginan untuk melakukan kewajiban yang tertuang di dalam hak dan kewajiban anggota DPR RI antara lain seperti memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, menyerap, menghimpun , menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain tanpa bermaksud untuk merendahkan atau bersikap sok tahu, di dalam diri setiap calon anggota legislatif tersebut sebagai manusia biasa pasti terbersit sedikit keinginan untuk memperbaiki taraf hidupnya dengan menerima gaji serta tunjangan anggota dewan yang jumlahnya lumayan besar yaitu kurang lebih mencapai Rp 51,5 juta perbulannya (Kompas, Kamis/12/05/2011).
            Sesuai dengan Surat Edaran DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 maka rincian gaji pokok dan tunjangan anggota dewan antara lain :
1.    Gaji pokok Rp 4,2 juta
2.    Tunjangan istri Rp 420 ribu
3.    Tunjangan anak (2 anak) Rp 168 ribu
4.    Uang sidang/paket  Rp 2 juta
5.    Tunjangan jabatan Rp 9,7 juta
6.    Tunjangan beras (4 jiwa) Rp 198 ribu
7.    Tunjangan PPH pasal 21Rp 1,729 juta
Jumlah gaji pokok dan tunjangan anggota dewan sebenarnya mencapai Rp 18,415 juta namun karena dipotong pajak 10 persen maka hanya berhak menerima 16,207 juta. Sementara itu penerimaan lain anggota dewan beragam sesuai dengan jabatan pada alat kelengkapan anggota dewan. Bagi anggota biasa tanpa jabatan pimpinan alat kelengkapan dewan akan menerima uang :
1.    Tunjangan kehormatan Rp 3,720 juta
2.    Tunjangan komunikasi intensif Rp 14,140 juta
3.    Tunjangan peningkatan fungsi dan pengawasan anggaran Rp 3,5 juta
4.  Biaya penelitian dan pemantauan peningkatan fungsionalitas dan konstitusional Dewan Rp – (khusus ketua dan wakil ketua alat kelengkapan Dewan berhak atas Rp 500 ribu-Rp 600 ribu)
5. Dukungan biaya bagi anggota komisi yang merangkap menjadi anggota badan/panitia anggaran Rp 1 juta
6.     Bantuan langganan listrik dan telepon 5,5 juta
7. Biaya penyerapan aspirasi masyarakat dalam rangka peningkatan kinerja komunikasi intensif Rp 8,5 juta
Dengan demikian, maka anggota Dewan biasa menerima gaji Rp 51.567.200 ribu/bulan, anggota merangkap wakil ketua alat kelengkapan Dewan Rp 53. 647.200 ribu/bulan, serta yang merangkap menjadi ketua alat kelengkapan Dewan menerima Rp 54.907.200 ribu/bulan.
Merujuk pada data IPSA dan IMF, gaji anggota Dewan Indonesia berada pada peringkat keempat dari seluruh dunia, dan yang membuat kita miris karena masih banyaknya penduduk Indonesia yang berada di bawah kemiskinan (data BPS tahun 2013 penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari seluruh penduduk Indonesia).

No

 Nama
 negara
Pendapatan per kapita penduduk (USD)
Rasio gaji DPR dan pendapatan per kapita
Nilai gaji DPR (USD)
1
Nigeria
1.631
116
189.500
2
Kenya
977
76
74.500
3
Ghana
1.562
30
46.500
4
Indonesia
3.910
17
65.800
5
Afsel
7.507
14
104.000
6
Brasil
12.079
13
157.600
7
Thailand
5.678
8
43.800
8
India
1.492
8
11.200
9
Italia
33.115
5
182.000
10
Banglades
850
5
4.000
11
Israel
31.296
4
114.800
12
Hong Kong
36.667
4
130.700
13
AS
49.922
3
174.000
14
Jepang
46.736
3
149.700
15
Singapura
51.162
3
154.000
16
Australia
67.723
3
201.200
17
Kanada
52.232
3
154.000
18
Selandia Baru
38,222
3
112.500
19
Jerman
41.513
3
119.500
20
Irlandia
45.888
3
120.400
21
Inggris
38.589
3
105.400
22
Pakistan
1.296
3
3.500
23
Saudi Arabia
25.085
3
64.000
24
Malaysia
10.304
2
25.300
25
Prancis
41.141
2
85.900
26
Swedia
55.158
2
99.300
27
Sri Lanka
2.873
2
5.100
28
Spanyol
29.289
1
43.900

Jumlah yang sedemikian besar tak ayal membuat beberapa oknum anggota Caleg menjadi gelap mata dan terkesan habis-habisan dalam membiayai kampanyenya. Sehingga saat ini pencalonan seorang Caleg telah berubah menjadi ajang bisnis dan mencari pekerjaan bagi sebagian orang. Bahkan sampai ada beberapa orang yang nekad menggunakan cara yang melawan hukum seperti mencuri HP di Kabupaten Lumajang, melakukan pemerasan dan penjualan anak dibawah umur di Jepara, menjadi pengedar Narkoba di Bone, dan sebagainya. Ironisnya kebiasaan jahat tersebut masih berlangsung sampai saat menjadi anggota Dewan sehingga ada beberapa oknum anggota Dewan yang nakal dan terpaksa harus berurusan dengan KPK.
Jika menengok latar belakang para Caleg tentunya mempunyai profesi yang bervariasi. Ada yang berprofesi sebagai karyawan, wiraswasta, pedagang, dosen, kontraktor, artis dsb. Sehingga banyak Caleg yang hanya mengandalkan modal nekad, berduit banyak,  terkenal, ganteng/cantik, dekat dengan pejabat tertentu dll dan mereka dipastikan tidak mempunyai pengalaman di bidangnya. Padahal yang dibutuhkan dalam melayani masyarakat adalah kemampuan/skill serta kualitas seseorang yang mampu untuk mengelola serta memecahkan permasalahan publik, bukan siapa yang kaya, terkenal,dll. Dan apabila mereka ditanya apa motivasi menjadi Caleg jawabannya tidak jauh dari ingin memajukan daerahnya, ingin menyampaikan aspirasi warga, dan lain sebagainya meskipun kita sendiri merasa geli mendengar jawaban tersebut mengingat tidak jelas yang dimaksud aspirasi dari warga mana dan memajukan daerah yang mana.
Didasarkan pada kondisi selama ini bahwa ada Caleg ataupun tidak ada Caleg kondisi di daerah juga masih sama dan aspirasi masyarakat juga tidak semuanya dapat tersalurkan. Situasi yang berlaku setelah menjadi anggota Dewan mereka malah lupa dengan tujuan utamanya dan terkesan eksklusif serta jauh dari masyarakatnya, urusanmu ya urusanmu sedangkan urusanku ya urusanku. Akan tetapi kondisi ini akan berbalik menjadi 180 derajat ketika masa jabatan anggota Dewan mendekati masa akhir dan mereka bermaksud untuk mencalonkan diri lagi menjadi anggota legislatif. Pada saat itu mereka akan lebih intens untuk mendekati masyarakat dan lebih sering terjun langsung ke tengah masyarakat sampai rela meninggalkan sidang Dewan dengan pelbagai alasan dengan harapan masyarakat mengenal mereka sehingga mereka bersimpati dan memilihnya kembali pada pemilu legislatif.
Anggota Dewan yang notabene wakil rakyat seharusnya melibatkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya dalam menentukan gaji dan tunjangan yang menjadi haknya, karena hal tersebut sebagai pertanggungjawaban serta rasa senasib dan sepenanggungan terhadap masyarakat yang diwakilinya, karena mereka bisa terpilih menjadi wakil rakyat dan menikmati kemewahan karena jasa rakyat yang telah memilihnya pada saat pemilu legislatif. Tetapi kenyataannya, dalam menentukan haknya sebagai anggota Dewan mereka menyusun dan mengesahkan sendiri Surat Edaran yang mengatur tentang gaji dan tunjangan mereka berikut nominalnya.
Kondisi seperti sekarang ini yaitu dengan banyaknya masyarakat yang antusias untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mungkin tidak akan terjadi apabila jumlah gaji dan tunjangan yang diterima oleh anggota Dewan hanya rata-rata, misalnya jumlahnya sama dengan UMP yang berada di wilayah pemilihan. Sehingga hak yang diterima oleh anggota Dewan bervariasi tergantung domisilinya, apabila anggota legislative tersebut berada di daerah yang UMP-nya tinggi maka gaji dan tunjangannya tinggi dan apabila UMP-nya rendah maka rendah pula gaji dan tunjangannya. Jadi secara tidak langsung anggota Dewan yang mewakili masyarakat di suatu wilayah ikut merasakan kesusahan masyarakat di sekitarnya karena gajinya sama dengan masyarakat tersebut.
Apabila ada seorang anggota Dewan menginginkan gajinya meningkat atau lebih tinggi, maka dia harus bekerja secara maksimal agar pendapatan masyarakat meningkat pula. Apabila hal ini dilakukan, maka sedikit banyak pasti akan dapat meningkatkan kinerja anggota Dewan dalam upaya melayani dan meningkatan kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat dengan para wakilnya.
          Memang apabila jumlah gaji dan tunjangan anggota Dewan merujuk kepada UMP, maka perlu penyesuaian terhadap kegiatan maupun agenda anggota Dewan termasuk Masa Sidang maupun Masa Reses agar gaji yang diterima tersebut dapat mencukupi. Hal ini bukan tanpa alasan, karena didasarkan pada pengalaman bahwa gaji besar tidak menunjukkan kinerja yang baik pula seperti hasil kritisi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap kinerja DPR RI sepanjang tahun 2013 dimana DPR hanya menghasilkan 16 UU dari 75 UU yang ditargetkan dan kehadiran rata-rata anggota Dewan yang hadir dalam sidang hanya 35 persen. Sehingga hal ini mengindikasikan ketidakseriusan anggota Dewan dalam membahas anggaran, dan lebih mementingkan kampanye Pileg agar dapat dipilih menjadi anggota Dewan kembali (Sindo, Jumat/03/01/2014). Bahkan kondisi ini diperparah dengan dinobatkannya DPR sebagai lembaga terkorup oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama lima tahun berturut-turut (Kompas, Senin/16/09/2013).