Bagi
Warga Negara Indonesia, hari Rabu tanggal 9 April 2014 mendatang dimaknai
dengan arti yang beragam. Mungkin ada masyarakat yang memaknainya dengan
perasaan yang menegangkan, ada yang biasa saja, bahkan ada yang acuh tak acuh. Hal
ini tergantung dari masing-masing individu yang berkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan tanggal tersebut. Bagi anda yang mungkin terdaftar
menjadi salah satu Caleg dari parpol tertentu maka tanggal tersebut merupakan
hari yang menentukan dan menegangkan karena menentukan nasib anda, apakah anda
dapat menjadi anggota legislatif seperti yang anda dambakan selama ini ataukah
anda harus menelan pil pahit karena jumlah suara yang tidak memenuhi kuota
tertentu.
Untuk masyarakat pada umumnya, tanggal tersebut disikapi
dengan perasaan yang biasa saja karena tanggal tersebut merupakan salah satu
tahapan yang memang harus dilaksanakan dalam rangkaian jadwal pelaksanaan
Pemilu tahun 2014 yang telah ditetapkan oleh KPU. Dan tentunya sebagai bagian
dari masyarakat yang berdemokrasi, maka masyarakat harus menggunakan hak
pillihnya untuk memilih anggota legislatif tersebut pada tanggal 9 April 2014.
Lain halnya dengan masyarakat kita yang harus
menggelandang di jalan atau yang terpaksa harus tinggal di kolong jembatan yang
setiap harinya harus membanting tulang dan berkutat dengan pekerjaan yang harus
mereka jalani untuk sekedar menghidupi keluarga mereka, maka mereka memaknainya
dengan sikap acuh tak acuh. Hal ini selaras dengan masyarakat yang telah mengambil
jalur golput dalam Pemilu karena sudah terlanjur kecewa dengan kinerja anggota
legislatif serta pemerintah yang telah ingkar janji dan hanya memperkaya diri sendiri.
Memang beberapa motivasi Caleg pasti ada keinginan untuk
melakukan kewajiban yang tertuang di dalam hak dan kewajiban anggota DPR RI
antara lain seperti memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat,
menyerap, menghimpun , menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, dan
lain sebagainya. Namun di sisi lain tanpa bermaksud untuk merendahkan atau
bersikap sok tahu, di dalam diri setiap calon anggota legislatif tersebut
sebagai manusia biasa pasti terbersit sedikit keinginan untuk memperbaiki taraf
hidupnya dengan menerima gaji serta tunjangan anggota dewan yang jumlahnya
lumayan besar yaitu kurang lebih mencapai Rp 51,5 juta perbulannya (Kompas,
Kamis/12/05/2011).
Sesuai dengan Surat Edaran DPR RI No. KU.00/9414/DPR
RI/XII/2010 maka rincian gaji pokok dan tunjangan anggota dewan antara lain :
1. Gaji
pokok Rp 4,2 juta
2. Tunjangan
istri Rp 420 ribu
3. Tunjangan
anak (2 anak) Rp 168 ribu
4. Uang
sidang/paket Rp 2 juta
5. Tunjangan
jabatan Rp 9,7 juta
6. Tunjangan
beras (4 jiwa) Rp 198 ribu
7. Tunjangan
PPH pasal 21Rp 1,729 juta
Jumlah
gaji pokok dan tunjangan anggota dewan sebenarnya mencapai Rp 18,415 juta namun
karena dipotong pajak 10 persen maka hanya berhak menerima 16,207 juta.
Sementara itu penerimaan lain anggota dewan beragam sesuai dengan jabatan pada
alat kelengkapan anggota dewan. Bagi anggota biasa tanpa jabatan pimpinan alat
kelengkapan dewan akan menerima uang :
1. Tunjangan
kehormatan Rp 3,720 juta
2. Tunjangan
komunikasi intensif Rp 14,140 juta
3. Tunjangan
peningkatan fungsi dan pengawasan anggaran Rp 3,5 juta
4. Biaya
penelitian dan pemantauan peningkatan fungsionalitas dan konstitusional Dewan
Rp – (khusus ketua dan wakil ketua alat kelengkapan Dewan berhak atas Rp 500
ribu-Rp 600 ribu)
5. Dukungan
biaya bagi anggota komisi yang merangkap menjadi anggota badan/panitia anggaran
Rp 1 juta
6. Bantuan
langganan listrik dan telepon 5,5 juta
7. Biaya
penyerapan aspirasi masyarakat dalam rangka peningkatan kinerja komunikasi
intensif Rp 8,5 juta
Dengan
demikian, maka anggota Dewan biasa menerima gaji Rp 51.567.200 ribu/bulan,
anggota merangkap wakil ketua alat kelengkapan Dewan Rp 53. 647.200 ribu/bulan,
serta yang merangkap menjadi ketua alat kelengkapan Dewan menerima Rp
54.907.200 ribu/bulan.
Merujuk
pada data IPSA dan IMF, gaji anggota Dewan Indonesia berada pada peringkat
keempat dari seluruh dunia, dan yang membuat kita miris karena masih banyaknya
penduduk Indonesia yang berada di bawah kemiskinan (data BPS tahun 2013
penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari
seluruh penduduk Indonesia).
No
|
Nama
negara
|
Pendapatan per kapita penduduk (USD)
|
Rasio gaji DPR dan pendapatan per kapita
|
Nilai gaji DPR (USD)
|
1
|
Nigeria
|
1.631
|
116
|
189.500
|
2
|
Kenya
|
977
|
76
|
74.500
|
3
|
Ghana
|
1.562
|
30
|
46.500
|
4
|
Indonesia
|
3.910
|
17
|
65.800
|
5
|
Afsel
|
7.507
|
14
|
104.000
|
6
|
Brasil
|
12.079
|
13
|
157.600
|
7
|
Thailand
|
5.678
|
8
|
43.800
|
8
|
India
|
1.492
|
8
|
11.200
|
9
|
Italia
|
33.115
|
5
|
182.000
|
10
|
Banglades
|
850
|
5
|
4.000
|
11
|
Israel
|
31.296
|
4
|
114.800
|
12
|
Hong Kong
|
36.667
|
4
|
130.700
|
13
|
AS
|
49.922
|
3
|
174.000
|
14
|
Jepang
|
46.736
|
3
|
149.700
|
15
|
Singapura
|
51.162
|
3
|
154.000
|
16
|
Australia
|
67.723
|
3
|
201.200
|
17
|
Kanada
|
52.232
|
3
|
154.000
|
18
|
Selandia Baru
|
38,222
|
3
|
112.500
|
19
|
Jerman
|
41.513
|
3
|
119.500
|
20
|
Irlandia
|
45.888
|
3
|
120.400
|
21
|
Inggris
|
38.589
|
3
|
105.400
|
22
|
Pakistan
|
1.296
|
3
|
3.500
|
23
|
Saudi Arabia
|
25.085
|
3
|
64.000
|
24
|
Malaysia
|
10.304
|
2
|
25.300
|
25
|
Prancis
|
41.141
|
2
|
85.900
|
26
|
Swedia
|
55.158
|
2
|
99.300
|
27
|
Sri Lanka
|
2.873
|
2
|
5.100
|
28
|
Spanyol
|
29.289
|
1
|
43.900
|
Jumlah
yang sedemikian besar tak ayal membuat beberapa oknum anggota Caleg
menjadi gelap mata dan terkesan habis-habisan dalam membiayai kampanyenya. Sehingga
saat ini pencalonan seorang Caleg telah berubah menjadi ajang bisnis dan
mencari pekerjaan bagi sebagian orang. Bahkan sampai ada beberapa orang yang
nekad menggunakan cara yang melawan hukum seperti mencuri HP di Kabupaten
Lumajang, melakukan pemerasan dan penjualan anak dibawah umur di Jepara,
menjadi pengedar Narkoba di Bone, dan sebagainya. Ironisnya kebiasaan jahat
tersebut masih berlangsung sampai saat menjadi anggota Dewan sehingga ada
beberapa oknum anggota Dewan yang nakal dan terpaksa harus berurusan dengan
KPK.
Jika
menengok latar belakang para Caleg tentunya mempunyai profesi yang bervariasi.
Ada yang berprofesi sebagai karyawan, wiraswasta, pedagang, dosen, kontraktor, artis
dsb. Sehingga banyak Caleg yang hanya mengandalkan modal nekad, berduit banyak,
terkenal, ganteng/cantik, dekat dengan
pejabat tertentu dll dan mereka dipastikan tidak mempunyai pengalaman di
bidangnya. Padahal yang dibutuhkan dalam melayani masyarakat adalah
kemampuan/skill serta kualitas seseorang yang mampu untuk mengelola serta
memecahkan permasalahan publik, bukan siapa yang kaya, terkenal,dll. Dan
apabila mereka ditanya apa motivasi menjadi Caleg jawabannya tidak jauh dari
ingin memajukan daerahnya, ingin menyampaikan aspirasi warga, dan lain sebagainya
meskipun kita sendiri merasa geli mendengar jawaban tersebut mengingat tidak
jelas yang dimaksud aspirasi dari warga mana dan memajukan daerah yang mana.
Didasarkan
pada kondisi selama ini bahwa ada Caleg ataupun tidak ada Caleg kondisi di
daerah juga masih sama dan aspirasi masyarakat juga tidak semuanya dapat tersalurkan.
Situasi yang berlaku setelah menjadi anggota Dewan mereka malah lupa dengan
tujuan utamanya dan terkesan eksklusif serta jauh dari masyarakatnya, urusanmu
ya urusanmu sedangkan urusanku ya urusanku. Akan tetapi kondisi ini akan
berbalik menjadi 180 derajat ketika masa jabatan anggota Dewan mendekati masa
akhir dan mereka bermaksud untuk mencalonkan diri lagi menjadi anggota
legislatif. Pada saat itu mereka akan lebih intens untuk mendekati masyarakat dan
lebih sering terjun langsung ke tengah masyarakat sampai rela meninggalkan
sidang Dewan dengan pelbagai alasan dengan harapan masyarakat mengenal mereka
sehingga mereka bersimpati dan memilihnya kembali pada pemilu legislatif.
Anggota
Dewan yang notabene wakil rakyat seharusnya melibatkan aspirasi masyarakat yang
diwakilinya dalam menentukan gaji dan tunjangan yang menjadi haknya, karena hal
tersebut sebagai pertanggungjawaban serta rasa senasib dan sepenanggungan terhadap
masyarakat yang diwakilinya, karena mereka bisa terpilih menjadi wakil rakyat dan
menikmati kemewahan karena jasa rakyat yang telah memilihnya pada saat pemilu
legislatif. Tetapi kenyataannya, dalam menentukan haknya sebagai anggota Dewan
mereka menyusun dan mengesahkan sendiri Surat Edaran yang mengatur tentang gaji
dan tunjangan mereka berikut nominalnya.
Kondisi
seperti sekarang ini yaitu dengan banyaknya masyarakat yang antusias untuk mencalonkan
diri menjadi anggota legislatif mungkin tidak akan terjadi apabila jumlah gaji
dan tunjangan yang diterima oleh anggota Dewan hanya rata-rata, misalnya
jumlahnya sama dengan UMP yang berada di wilayah pemilihan. Sehingga hak yang
diterima oleh anggota Dewan bervariasi tergantung domisilinya, apabila anggota
legislative tersebut berada di daerah yang UMP-nya tinggi maka gaji dan
tunjangannya tinggi dan apabila UMP-nya rendah maka rendah pula gaji dan
tunjangannya. Jadi secara tidak langsung anggota Dewan yang mewakili masyarakat
di suatu wilayah ikut merasakan kesusahan masyarakat di sekitarnya karena
gajinya sama dengan masyarakat tersebut.
Apabila
ada seorang anggota Dewan menginginkan gajinya meningkat atau lebih tinggi,
maka dia harus bekerja secara maksimal agar pendapatan masyarakat meningkat
pula. Apabila hal ini dilakukan, maka sedikit banyak pasti akan dapat
meningkatkan kinerja anggota Dewan dalam upaya melayani dan meningkatan
kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat
dengan para wakilnya.
Memang apabila jumlah
gaji dan tunjangan anggota Dewan merujuk kepada UMP, maka perlu penyesuaian
terhadap kegiatan maupun agenda anggota Dewan termasuk Masa Sidang maupun Masa
Reses agar gaji yang diterima tersebut dapat mencukupi. Hal ini bukan tanpa
alasan, karena didasarkan pada pengalaman bahwa gaji besar tidak menunjukkan
kinerja yang baik pula seperti hasil kritisi Forum Indonesia Transparansi
Anggaran (FITRA) terhadap kinerja DPR RI sepanjang tahun 2013 dimana DPR hanya
menghasilkan 16 UU dari 75 UU yang ditargetkan dan kehadiran rata-rata anggota
Dewan yang hadir dalam sidang hanya 35 persen. Sehingga hal ini mengindikasikan
ketidakseriusan anggota Dewan dalam membahas anggaran, dan lebih mementingkan kampanye
Pileg agar dapat dipilih menjadi anggota Dewan kembali (Sindo,
Jumat/03/01/2014). Bahkan kondisi ini diperparah dengan dinobatkannya DPR
sebagai lembaga terkorup oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama lima
tahun berturut-turut (Kompas, Senin/16/09/2013).